DALAM kata pengantarnya terhadap buku Indonesian Foreign Policy and the  Dilemma of Dependence (1976), George Kahin berargumen bahwa politik luar  negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh politik domestik. Dan  pada saat yang sama dipengaruhi oleh usaha untuk memperluas akses  terhadap sumber-sumber daya eksternal tanpa mengorbankan  kemerdekaannya.Dari waktu ke waktu, argumen ini belum hilang  relevansinya. Persoalan mencari titik kesetimbangan antara dinamika  politik domestik dan usaha Indonesia mendapatkan sumber daya eksternal  tanpa mengorbankan prinsip kemandirian dan kemerdekaan selalu menjadi  persoalan pelik bagi setiap rezim pemerintahan kita, baik dari masa  Soekarno hingga pemerintahan Megawati saat ini.
Persoalan inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh Bung Hatta  dalam pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan oleh  Bung Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta  pada 1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi konflik internal  antarkelompok elite setelah persetujuan Linggarjati dan Renville.Ia  menyimpulkan bahwa pro-kontra terhadap kedua persetujuan antara  pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan Belanda  itu sebenarnya merupakan gambaran konkret dari dinamika politik  internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua adikuasa  ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta mulai  memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan aktif.
Bila diamati dengan cermat, sebagaimana ditemukan dalam sebuah tulisan  Bung Hatta di jurnal internasional terkemuka Foreign Affairs (vol 51/3,  1953), politik luar negeri bebas aktif diawali dengan usaha pencarian  jawaban atas pertanyaan konkret: have then Indonesian people fighting  for their freedom no other course of action open to them than to choose  between being pro-Russian or pro-American? The government is of the  opinion that position to be taken is that Indonesia should not be a  passive party in the arena of international politics but that it should  be an active agent entitled to determine its own standpoint. The policy  of the Republic of Indonesia must be resolved in the light of its own  interests and should be executed in consonance with the situations and  facts it has to face.
Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif yang  dikemukakan oleh Hatta sama sekali bukan retorika kosong mengenai  kemandirian dan kemerdekaan, akan tetapi dilandasi pemikiran rasional  dan bahkan kesadaran penuh akan prinsip-prinsip realisme dalam  menghadapi dinamika politik internasional dalam konteks dan ruang waktu  yang spesifik. Bahkan dalam pidato tahun 1948 tersebut, Hatta dengan  tegas menyatakan, percaya akan diri sendiri dan berjuang atas  kesanggupan kita sendiri tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil  keuntungan daripada pergolakan politik internasional.
Pelajaran terpenting yang bisa kita ambil dari para founding fathers  kita adalah bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan  sentimen belaka. Namun, dengan realitas dan logika yang rasional. Contoh  yang paling sering disebut adalah pilihan yang diambil Uni Soviet pada  1935 ketika ia harus menghadapi kelompok fasis pimpinan Hitler. Para  pemimpin Uni Soviet menyerukan kader dan sekutunya di seluruh dunia  untuk mengurangi permusuhan dengan kelompok kapitalis dan menyerukan  dibentuknya front bersama melawan fasisme. Kemudian pada 1939, Uni  Soviet mengadakan kerja sama nonagresi dengan musuhnya sendiri, Jerman.  Dengan itu, Soviet terbebaskan untuk beberapa waktu lamanya dari ancaman  penaklukan. Contoh inilah yang dikemukakan Hatta untuk menggambarkan  betapa politik internasional sedapat mungkin dijauhkan dari prinsip  sentimental dan didekatkan pada prinsip realisme.
Dalam menghadapi dilema di atas, Soekarno dan Soeharto–dua presiden yang  lama berkuasa–menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soekarno  menjalankan politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan  revolusioner. Hal ini tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia,  penolakan keras Soekarno terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon  go to hell with your aid, dan pengunduran diri Indonesia dari  keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Landasan  pemikiran Soekarno adalah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme  dan kembalinya kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan  Barat serta PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah  representasi imperialisme dan kolonialisme.
Di lain pihak, Soeharto menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soeharto  dan Orde Baru-nya tidak menolak hubungan dengan negara-negara Barat,  dan pada saat yang bersamaan berusaha untuk menjaga independensi politik  Indonesia. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa  Indonesia melalui ASEAN menolak kehadiran kekuatan militer Barat di  kawasan regional Asia Tengggara. Perlu diperhatikan bahwa Hatta,  Soekarno, dan Soeharto bekerja dalam konteks Perang Dingin dengan  fixed-premis-nya mengenai dunia yang bipolar, terbagi dua antara Blok  Barat dan Timur.
Tren demokratisasi
Dengan berlangsungnya proses transisi menuju demokrasi, beberapa  pertanyaan muncul: akankah sebuah rezim demokratis yang solid bisa  dihadirkan di Indonesia? Ataukah rezim otoriter, dengan beragam bentuk  dan levelnya, tetap mewarnai politik domestik Indonesia dan pada  akhirnya wajah sentralistis dari perumusan kebijakan luar negeri kita  tetap dominan?
Di sisi lain, politik internasional pun mengalami perubahan fundamental.  Setelah Perang Dingin usai, yang ditandai dengan runtuhnya tembok  Berlin yang menyimbolisasi dunia yang bipolar dan pecah berantakannya  negara Uni Soviet, format konstelasi politik internasional belum lagi  menemukan bentuknya. Variabel yang harus diperhatikan pun semakin  kompleks setelah terjadinya aksi terorisme ke New York dan Washington  pada 11 September 2001. Perang melawan teror yang dikampanyekan Amerika  Serikat di seluruh dunia, amanat demokratisasi dan juga  tantangan-tantangan baru yang muncul setelah Perang Dingin membawa kita  pada satu pertanyaan: di manakah dan bagaimanakah Indonesia menempatkan  dirinya?
Tampaknya peristiwa 11 September 2001 dan segala konsekuensi yang  mengikutinya menunjukkan dengan sangat jelas, baik kepada warga negara  biasa ataupun para pembuat kebijakan, bahwa politik domestik Indonesia  sangat terkait erat dengan dinamika politik internasional dan demikian  pula sebaliknya. Bila dulu dikenal adagium foreign policy begins at  home, yang menyiratkan pengertian bahwa politik luar negeri merupakan  cerminan dari politik dalam negeri, maka kini kita bisa saksikan bahwa  politik domestik bisa amat dipengaruhi oleh dinamika eksternal kita.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam pernyataan pers Departemen  Luar Negeri (Deplu) yang dikeluarkan awal 2002 ini menyebut faktor  ‘intermestik’, yakni keharusan untuk mendekatkan faktor internasional  dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, diplomasi tidak  lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional  Indonesia ke luar, tapi diplomasi juga menuntut kemampuan untuk  mengomunikasikan perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri.  Konsekuensi logis dari situsi ini adalah bahwa kita harus mampu berpikir  outward-looking dan inward-looking pada saat bersamaan.
Sudah jelas bagi kita bahwa setelah Perang Dingin usai, isu utama dalam  politik internasional bergeser dari rivalitas ideologis dan militer  mejadi isu-isu mengenai kesejahteraan ekonomi yang mewujud dalam usaha  meliberalisasi perdagangan dunia, demokrasi, dan perlindungan terhadap  lingkungan hidup. Singkatnya, di samping isu yang state-centric, isu-isu  yang nonstate centric semakin mendapatkan perhatian.
Isu-isu ini tidak meniadakan isu keamanan dan isu militer lama, akan  tetapi banyak aspek dari isu keamanan mengalami perubahan bentuk. Pada  dekade 1990-an, isu keamanan nontradisional berbasis maritim semakin  mengemuka. Statistik memperlihatkan bahwa isu keamanan nontradisional  seperti pembajakan (piracy at sea), people smuggling, human-trafficking,  serta isu small arms transfer semakin meningkat frekuensinya. Bagi  negara kepulauan dengan batas wilayah yang terbuka dan luas seperti  Indonesia, tentu saja hal ini menjadi persoalan yang harus mendapat  perhatian utama.
Diplomasi kita telah berhasil mengadvokasi kepentingan Indonesia melalui  diakuinya status Indonesia sebagai negara kepulauan melalui Law of The  Sea Convention pada 1982. Dalam sebuah tulisannya, Professor Hasjim  Djalal menyebutkan bahwa penerapan status kepulauan ini telah memperluas  wilayah laut Indonesia hingga 5 juta kilometer persegi! Karena itu,  menjaga kedaulatan dan keamanan laut dan udara di atasnya akan menjadi  tantangan terbesar bagi Indonesia di masa yang akan datang. Hal ini  tidak hanya menjadi tugas angkatan bersenjata kita untuk semakin  mengorientasikan diri pada pengembangan kapasitas kelautan dan udara  daripada terus-menerus bertumpu pada kekuatan teritorial darat yang bisa  dikatakan semakin tidak relevan apabila dikaitkan jenis dan bentuk  ancaman yang baru tersebut.
Tentunya, kebijakan luar negeri kita harus mampu meneruskan keberhasilan  diplomasi bidang kemaritiman yang sudah berhasil dicapai dan  menginkorporasikannya dengan tantangan berbasis maritim seperti tersebut  di atas. Kelak kita perlu memilih apakah Indonesia akan memaksimalkan  potensinya menjadi sebuah maritime power sungguhan atau hanya  menjadikannya sebagai legenda historis nenek moyang.
Demokratisasi dan juga situasi eksternal yang berubah cepat juga  menimbulkan situasi di mana keterlibatan sebanyak mungkin aktor, baik  negara ataupun nonnegara, dalam kebijakan luar negeri Indonesia semakin  tidak terhindarkan. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran penting karena  ia memperlihatkan bagaimana advokasi kelompok-kelompok nonnegara yang  bergerak dalam bidang HAM sangat efektif dalam proses perjuangan  masyarakat Timor Timur mencapai kemerdekaannya. Sementara, Indonesia  sangat terlambat dalam melibatkan beragam aktor nonnegara dalam berbagai  isu.
Kendala utamanya tampaknya terletak pada mindset kita bahwa kedaulatan  negara dipahami sebagai sebuah konsepsi yang state-centric, sehingga  isu-isu seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan human security  yang tentu saja akan melibatkan aktor-aktor nonnegara dianggap sebagai  isu yang akan mereduksi kedaulatan dari state. Padahal, sebagaimana  disebutkan di awal tulisan ini, politik luar negeri harus dibimbing  tidak hanya oleh prinsip-prinsip ideasional belaka, tapi harus pula  dibimbing oleh prinsip-prinsip rasional. Ketika situasi dan tantangan  yang ada semakin menuntut keterlibatan lebih banyak aktor untuk  menghadapinya maka tidak ada pilihan lain selain mengakomodasinya. Di  samping itu, demokratisasi menuntut keadaan ketika semua orang atau  kelompok memiliki akses yang sama terhadap perumusan kebijakan, termasuk  kebijakan luar negeri. Hal terakhir yang penting adalah prinsip bebas  aktif harus ditafsirkan sebagai sebuah situasi di mana Indonesia bebas  memilih dengan siapa ia bisa memajukan kepentingan nasionalnya secara  aktif. Karena kita tidak lagi hidup dalam dunia dikotomis seperti pada  masa Perang Dingin.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar